Tuesday, March 1, 2016

Shadow Kiss - Part 2 (Catch You)



Mataku terpaku pada sosok yang kini tengah melambaikan tangannya padaku. Memberiku senyuman geli, entah karena ekpresi terkejutku yang diatas rata-rata yang membuat mulutku pegal terbuka atau memang dia sengaja berdiri disana. Membuatku kembali menemukan dirinya tanpa bisa mengerti bagaimana caranya ia muncul dua kali pagi ini.
Lagipula siapa dia? Apakah dia salah satu mahasiswa Charpabia.? Lalu tadi pagi... aku jelas melihatnya duduk disofa didalam kamarku dan menghilang begitu saja. Aku bisa saja menyebut itu adalah sebuah mimpi atau hanya halusinasiku saja, namun menemukan dia berdiri angkuh diluar pintu sana meyakinkanku jika laki-laki itu memang ada.
Dan aku harus tau siapa dia.
Bukan karena aku seseorang yang begitu ingin tahu, tapi ini karena ia sudah berada dikamarku dipagi buta. Apakah aku harus melepaskannya begitu saja?
Jelas tidak!
Aku masih bisa melihat ia mengerling kearahku saat Bu Clara menutup mata kuliah hari ini. Tanpa memperdulikan teriakan Angella - sudah pasti soal kotak pensil terbang tadi - aku berlari keluar. Menyerobot arus orang-orang yang juga ingin keluar.
Aku harus bisa menemui laki-laki itu untuk menanyakan bagaimana cara keberadaan ia dikamarku, dan tentu saja menghindari amukan Angella.
Saat aku berhasil keluar dengan sedikit mendorong dan menerobos yang kutemukan hanya beberapa mahasiswa yang juga telah menyelesaikan kelasnya. Dinding yang ia jadikan sandaran sudah ditempati oleh kumpulan mahasiswa dari kelas lain.
Ia menghilang lagi.
Apa mungkin aku salah liat? Dilihat betapa jelasnya aku melihat kerlingan dan senyum gelinya, menurutku tidak.
Aku berdiri ditengah lorong. Mengedarkan pandangan kesegala arah. Namun sosok yang kucari tak terlihat sedikitpun. Tidak pakaian serba hitamnya. Tidak pula mata biru terangnya.
"Alice..."
Oh tidak.
"Kau pikir bisa lolos begitu saja dariku?" Angella menghampiriku bersama kedua pengikutnya, Molly dan Debbra. Mereka terlihat mirip satu sama lain. Berambut pirang. Berpakaian kekurangan bahan. Bahkan senyum mengejek mereka terlihat sama. Kurasa mereka melatih itu bersama. Untuk digunakan pada saat seperti ini.
"Jelaskan padaku apa yang kau lakukan tadi dikelas? Kau berani melempariku?! "
"Aku tidak melemparimu." Aku memang benar-benar tidak melakukannya. Kenapa itu bisa melayang kearah sebaliknya saja aku tak tau.
"Oh benarkah.. lalu kau pikir kotak pensilku punya sayap? " Angella menarik rambutku didalam genggamannya dan menyeretku ketepian lorong. Hal itu cukup membawa beberapa mata yang penasaran untuk melihat, ya... hanya melihat.
"Kau yang melempariku.." kataku pelan dengan wajah menunduk. Tangannya dirambutku menyakiti kulit kepalaku seperti ia akan merenggutnya hingga lepas.
"Memang. Dan harusnya kau tidak membalas. Aku berhak. Dan kau tidak.."
Dia menjengkelkan.
"Sebenarnya apa salahku sehingga kau begitu tidak menyukaiku?" Ini adalah pertanyaan besarku dari awal ia menggangguku. Terlontar begitu saja yang membuat Anggela mengeratkan cekramannya.
"Salahmu? Kau bertanya salahmu? Kau memiliki banyak kesalahan yang cukup memberiku alasan untuk memberimu sedikit pelajaran. Aku tak menyukai wajah sok innocent mu itu. Karena aku tau kau hanya menggunakan itu untuk membodohi orang lain.... selain itu... aku hanya senang mengganggu wanita aneh dan cupu sepertimu.." tawanya bergema disepanjang lorong yang mulai sepi. Orang yang tadi hanya menonton memilih untuk pergi karena merasa sudah terlalu sering melihat Anggela melakukan ini dan sudah tau bagaimana akhirnya.
Molly dan Debbra yang sedari tadi hanya memutar mutar rambut dan cekikikan dibelakang Angella bergerak maju lalu memegangi tanganku masing-masing. Membuatku panik akan apa yang mereka ingin lakukan.
"Mau apa kalian?" Kepalaku bergerak kesana kemari. Melihat apakah ada yang bisa kumintai pertolongan namun beberapa orang yang lewat dan sudah jelas melihatku memilih untuk tidak ikut campur.
"Kau terlihat lusuh dengan baju ketinggalan zamanmu itu. Rambutmu juga tidak berkilau bahkan terlihat kusam tak terawat seperti kami. Jadi,,, biarkan aku yang baik hati ini memberi sedikit perawatan untukmu." Angella tertawa. Kembali tertawa disaat aku kembali bergetar. Ia merogoh sebuah botol didalam tasnya dan membuka tutupnya. Cairan didalam botol itu berwarna hijau pekat dan berbau menyengat.
Tidak... mereka tidak mungkin berani...
Angella memegang botol itu dengan telunjuk dan ibu jarinya. Sedangkan tangan sebelahnya menutup hidung untuk menghalau bau tajam yang dikeluarkan botol itu. Ia menyeringai, berbagi tatapan bersama kedua temannya seperti sedang mengatur kode.
Hingga mulut botol itu menyentuh ujung kepalaku dan seruan riang mereka bertiga secara bersamaan.
"Shower time..."
***
Aku menghempaskan diri keatas ranjang keras milikku kemudian menghembuskan nafas sekencang-kencangnya. Handuk kecil melilit leherku tanpa mencegah rambut basah yang ikut membuat bantal dibawahku menyerap airnya. Aku tak begitu peduli.
Perasaan lelah inilah yang selalu kubawa pulang setiap harinya. Aku tak mengerti kenapa Angella begitu membenciku. Seingatku aku tak pernah memiliki masalah dengannya. Aku tak banyak bicara jadi kecil kemungkinan aku pernah menyinggung perasaannya. Aku juga jarang berada didekatnya. Tapi entah kenapa ia sangat senang menggangguku. Dibantu dengan dua sahabat -katanya- itu mereka selalu saja bisa menemukam cara untuk membuatku merasa dinereka ketimbang kampus.
Diwaktu perenungan seperti ini, aku selalu bisa mengakhirinya dengan memikirkan kedua orang tuaku. Mengingat tingkah pola Ayah yang tidak pernah malu untuk mencubit pipiku dan juga kue buatan ibu yang selalu menjadi santapan lezat sambil menonton tv.
Kenangan-kenangan sederhana itu selalu bisa menarik simpul senyum disudut bibirku. Bahkan kenangan itu membekaskan hangat yang menjalar dihatiku. Setidaknya ini yang selalu kulakukan jika pikiran dan hatiku gelisah. Dengan mengingat mereka, entah kenapa bisa membuatku kuat dengan sendirinya. Dan disaat mataku terbuka, aku akan tersenyum seolah semua bebanku sudah terangkat.
Ya.. kadang hanya kenangan sederhana yang menyelamatkanmu.
Aku berencana turun dan membuat makan malam. Aku sudah melewatkan makan siang karena terlalu mual dengan bau tubuhku sendiri dan sekarang aku membutuhkan makan. Aku berjinjit diantara lemari makanan yang terlalu tinggi. Sungguh memiliki tubuh kecil kadang menyulitkan. Mungkin aku harus membuat lemari makanan ini sedikit lebih rendah.. ingatkan saja aku nanti.
Mengambil sebuah kursi kecil lalu kembali melongokkan kepalaku kedalam lemari. Hanya ada beberapa kentang dan daging beku. Mungkin aku bisa membuat steak malam ini.
Saat tengah asik berkutat dengan capit dan daging panggangku, sebuah kibasan hawa dingin menerpa punggungku. Leherku menegang. Kepalaku menegak. Membiarkan desisan daging terbakar didepanku tanpa membaliknya.
Apa itu?
Aku tak harus menoleh. Karena seperti yang terjadi di film, saat menoleh akan ada sebilah pisau yang menghujammu hingga mati. Tidak.. tidak.. segera kusingkirkan pikiran konyol itu dan kembali memikirkan kematangan dagingku saja. Mungkin itu hanya angin malam yang masuk karena aku lupa menutup jendela.
Tanganku terangkat dengan capit dan daging yang sudah matang saat hembusan hawa dingin tadi kembali kurasakan. Bukan... bukan hembusan... aku bisa sangat jelas merasakan sapuan dilenganku yang terbuka. Sapuan dingin yang memicu seluruh tubuhku membeku dan dagingku berhenti diudara.
Aku mencoba menggerakkan mataku menyapu ruangan. Lalu berbalik dan mengelilingi ruang dapur hingga ruang keluarga. Hanya ada suara tv diruang keluarga tadi yang kubiarkan menyala. Selebihnya hanya suara jam, desisan sayur yang dipanggang, dan suara nafasku yang terlalu keras. Aku tak pernah menyukai gelap. Itu sebabnya seluruh rumahku akan terus menyala jika malam tiba. Dan rumah seterang ini tak menampakkan sedikitpun sesuatu yang kiranya memberiku usapan dingin tadi.
Mungkin aku sedang mengalami halusinasi.. aku membiarkan pikiran itu membantuku lepas dari rasa takut yang akan menjadikanku tidak kuat berdiri untuk kekamar mandi. Jadi aku akan menyelesaikan makan malam dan kembali tidur secepatnya.
Saat memasuki dapur dan kembali melanjutkan pekerjaanku yang tertunda langkahku berhenti. Aku ingat dengan jelas... sangat jelas jika tadi aku sedang memanggang daging. Lalu ini... kenapa daging dan sayur yang kumasak sudah tersaji diatas piring?
Bukankah tadi dagingnya masih diatas panggangan. Ditambah ada segelas susu hangat disamping piring. Beberapa pikiran kembali berkelebat dikepalaku. Aku bahkan berdiri memandangi piring cukup lama. Apa mungkin aku mulai berhalusinasi lagi?
***
Kakiku berat. Kepalaku berputar. Pandangan didepanku gelap dan ranting-ranting tajam dibawahku menambah kesulitanku untuk berlari. Namun aku harus berlari.... aku tak mengerti kenapa tapi aku harus berlari dari sesuatu yang mengejarku.... seseorang...
Tubuhku jatuh terjerembab saat mengait sebilah ranting besar. Lututku bergores merah dan mengeluarkan cairan. Namun tidak terasa sakit. Aku meraih semak semak dan mencoba untuk berdiri. Bayangan hitam itu semakin mendekat. Aku berlari.... menghentak apapun didepanku yang menghalangi langkah lariku. Goresan demi goresan bersarang ditubuhku yang terbuka. Membuatnya mengeluarkan cairan merah kental...
Aku menoleh kebelakang. Bayangan hitam itu masih mengejarku tanpa berniat untuk berhenti. Bahkan ditengah usaha kerasku untuk menjauh dengan berlari bayangan itu sudah semakin mendekat dan seolah tepat berada dibelakang kepalaku.
Nafasku sesak. Aku kelelahan ... tapi kakiku tak mau berhenti... aku tak mau berhenti karena bayangan hitam dibelakangku masih mengejar. Bahkan tangannya menggapai-gapaiku.... sesaat diantara bayangan hitam yang menyelubunginya aku bisa melihat sepasang mata biru terang. Memberikan rasa takut yang kukenali sebelumnya dan membuatku semakin mendorong diriku kedepan.... menghindarinya sekuat tenaga...
Tolong.... tolong....
Aku berusaha berteriak namun suaraku tak bisa keluar. Tertinggal ditenggorokan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Nafasku bertalu... kakiku bergerak cepat. Aku membiarkan tubuhku menabrak apapun didepan sampai tiba pijakan kosong yang kutemukan. Tidak ada dataran padat yang menahan kakiku disana... kepanikan melandaku.. aku akan jatuh... jatuh kesebuah lembah gelap tanpa kutahu akan berujung dimana... atau itu tak memiliki ujung... tubuhku melambung kedepan... tertarik gravitasi dengan cepat sampai sebuah tangan mengelilingi perutku dan menariknya menjauh dari pijakan kosong yang menarikku kebawah. Membawa tubuhku masuk kedalam pelukannya dan membiarkan tubuhku jatuh diatas tubuhnya.
Kegelapan lain menyeretku masuk saat sayup-sayup aku mendengar sebuah suara.
"Aku menangkapmu.."
***
Sinar pagi menelusup masuk kedalam tirai jendela. Memaksa mataku terbuka karena silaunya yang tak mau berhenti. Sepertinya malam cepat sekali berganti. Aku merasa tidak cukup tidur dengan baik karena mimpi aneh yang kembali menyerangku.
Mimpi yang didalamnya berada sesosok bayangan bermata biru. Seketika mataku mengarah pada sofa dihadapanku. Berharap tidak menemukan seseorang disana.
Untungnya sofa itu masih kosong. Setidaknya pagi ini aku tak harus memikirkan kewarasanku sendiri...
Setelah mengumpulkan sedikit kesadaran aku merasakan sesuatu mengganjal diperutku. Tepatnya sesuatu yang menahanku. Pandanganku turun kearah perut dan menyibak selimut. Apa yang kutemukan dibawah sana ... yang sedang menindih perutku membuatku berteriak detik itu juga. Aku ingin beranjak dari sana secepatnya namun tangan yang tadi kulihat melilit tubuhku bergerak lebih cepat dari dugaanku.
Tangan itu kembali menurunkan tubuhku keatas ranjang dan menutup mulutku untuk membungkam suara nyaring yang keluar dari sana. Saat itulah keinginanku untuk berteriak semakin besar walau terhalang tangan yang menutup mulutku. Tubuhnya berada diatasku. Menindihku tak bergerak. Mataku terbuka terlalu lebar hanya untuk mendapati pemilik tangan besar ini. Wajahnya tepat berada didepanku. Bersama senyum yang sama persis dengan terakhir kali kulihat.
Bayangan bermata biru dimimpiku....
Laki-laki bermata biru yang masuk kedalam kamarku...
Laki-laki bermata biru yang berdiri diluar kelasku...
Laki-laki yang menindihku diatas ranjang....
"Selamat pagi, Alicia"
****

No comments:

Post a Comment