Tuesday, March 1, 2016

Shadow Kiss - Part 2 (Catch You)



Mataku terpaku pada sosok yang kini tengah melambaikan tangannya padaku. Memberiku senyuman geli, entah karena ekpresi terkejutku yang diatas rata-rata yang membuat mulutku pegal terbuka atau memang dia sengaja berdiri disana. Membuatku kembali menemukan dirinya tanpa bisa mengerti bagaimana caranya ia muncul dua kali pagi ini.
Lagipula siapa dia? Apakah dia salah satu mahasiswa Charpabia.? Lalu tadi pagi... aku jelas melihatnya duduk disofa didalam kamarku dan menghilang begitu saja. Aku bisa saja menyebut itu adalah sebuah mimpi atau hanya halusinasiku saja, namun menemukan dia berdiri angkuh diluar pintu sana meyakinkanku jika laki-laki itu memang ada.
Dan aku harus tau siapa dia.
Bukan karena aku seseorang yang begitu ingin tahu, tapi ini karena ia sudah berada dikamarku dipagi buta. Apakah aku harus melepaskannya begitu saja?
Jelas tidak!
Aku masih bisa melihat ia mengerling kearahku saat Bu Clara menutup mata kuliah hari ini. Tanpa memperdulikan teriakan Angella - sudah pasti soal kotak pensil terbang tadi - aku berlari keluar. Menyerobot arus orang-orang yang juga ingin keluar.
Aku harus bisa menemui laki-laki itu untuk menanyakan bagaimana cara keberadaan ia dikamarku, dan tentu saja menghindari amukan Angella.
Saat aku berhasil keluar dengan sedikit mendorong dan menerobos yang kutemukan hanya beberapa mahasiswa yang juga telah menyelesaikan kelasnya. Dinding yang ia jadikan sandaran sudah ditempati oleh kumpulan mahasiswa dari kelas lain.
Ia menghilang lagi.
Apa mungkin aku salah liat? Dilihat betapa jelasnya aku melihat kerlingan dan senyum gelinya, menurutku tidak.
Aku berdiri ditengah lorong. Mengedarkan pandangan kesegala arah. Namun sosok yang kucari tak terlihat sedikitpun. Tidak pakaian serba hitamnya. Tidak pula mata biru terangnya.
"Alice..."
Oh tidak.
"Kau pikir bisa lolos begitu saja dariku?" Angella menghampiriku bersama kedua pengikutnya, Molly dan Debbra. Mereka terlihat mirip satu sama lain. Berambut pirang. Berpakaian kekurangan bahan. Bahkan senyum mengejek mereka terlihat sama. Kurasa mereka melatih itu bersama. Untuk digunakan pada saat seperti ini.
"Jelaskan padaku apa yang kau lakukan tadi dikelas? Kau berani melempariku?! "
"Aku tidak melemparimu." Aku memang benar-benar tidak melakukannya. Kenapa itu bisa melayang kearah sebaliknya saja aku tak tau.
"Oh benarkah.. lalu kau pikir kotak pensilku punya sayap? " Angella menarik rambutku didalam genggamannya dan menyeretku ketepian lorong. Hal itu cukup membawa beberapa mata yang penasaran untuk melihat, ya... hanya melihat.
"Kau yang melempariku.." kataku pelan dengan wajah menunduk. Tangannya dirambutku menyakiti kulit kepalaku seperti ia akan merenggutnya hingga lepas.
"Memang. Dan harusnya kau tidak membalas. Aku berhak. Dan kau tidak.."
Dia menjengkelkan.
"Sebenarnya apa salahku sehingga kau begitu tidak menyukaiku?" Ini adalah pertanyaan besarku dari awal ia menggangguku. Terlontar begitu saja yang membuat Anggela mengeratkan cekramannya.
"Salahmu? Kau bertanya salahmu? Kau memiliki banyak kesalahan yang cukup memberiku alasan untuk memberimu sedikit pelajaran. Aku tak menyukai wajah sok innocent mu itu. Karena aku tau kau hanya menggunakan itu untuk membodohi orang lain.... selain itu... aku hanya senang mengganggu wanita aneh dan cupu sepertimu.." tawanya bergema disepanjang lorong yang mulai sepi. Orang yang tadi hanya menonton memilih untuk pergi karena merasa sudah terlalu sering melihat Anggela melakukan ini dan sudah tau bagaimana akhirnya.
Molly dan Debbra yang sedari tadi hanya memutar mutar rambut dan cekikikan dibelakang Angella bergerak maju lalu memegangi tanganku masing-masing. Membuatku panik akan apa yang mereka ingin lakukan.
"Mau apa kalian?" Kepalaku bergerak kesana kemari. Melihat apakah ada yang bisa kumintai pertolongan namun beberapa orang yang lewat dan sudah jelas melihatku memilih untuk tidak ikut campur.
"Kau terlihat lusuh dengan baju ketinggalan zamanmu itu. Rambutmu juga tidak berkilau bahkan terlihat kusam tak terawat seperti kami. Jadi,,, biarkan aku yang baik hati ini memberi sedikit perawatan untukmu." Angella tertawa. Kembali tertawa disaat aku kembali bergetar. Ia merogoh sebuah botol didalam tasnya dan membuka tutupnya. Cairan didalam botol itu berwarna hijau pekat dan berbau menyengat.
Tidak... mereka tidak mungkin berani...
Angella memegang botol itu dengan telunjuk dan ibu jarinya. Sedangkan tangan sebelahnya menutup hidung untuk menghalau bau tajam yang dikeluarkan botol itu. Ia menyeringai, berbagi tatapan bersama kedua temannya seperti sedang mengatur kode.
Hingga mulut botol itu menyentuh ujung kepalaku dan seruan riang mereka bertiga secara bersamaan.
"Shower time..."
***
Aku menghempaskan diri keatas ranjang keras milikku kemudian menghembuskan nafas sekencang-kencangnya. Handuk kecil melilit leherku tanpa mencegah rambut basah yang ikut membuat bantal dibawahku menyerap airnya. Aku tak begitu peduli.
Perasaan lelah inilah yang selalu kubawa pulang setiap harinya. Aku tak mengerti kenapa Angella begitu membenciku. Seingatku aku tak pernah memiliki masalah dengannya. Aku tak banyak bicara jadi kecil kemungkinan aku pernah menyinggung perasaannya. Aku juga jarang berada didekatnya. Tapi entah kenapa ia sangat senang menggangguku. Dibantu dengan dua sahabat -katanya- itu mereka selalu saja bisa menemukam cara untuk membuatku merasa dinereka ketimbang kampus.
Diwaktu perenungan seperti ini, aku selalu bisa mengakhirinya dengan memikirkan kedua orang tuaku. Mengingat tingkah pola Ayah yang tidak pernah malu untuk mencubit pipiku dan juga kue buatan ibu yang selalu menjadi santapan lezat sambil menonton tv.
Kenangan-kenangan sederhana itu selalu bisa menarik simpul senyum disudut bibirku. Bahkan kenangan itu membekaskan hangat yang menjalar dihatiku. Setidaknya ini yang selalu kulakukan jika pikiran dan hatiku gelisah. Dengan mengingat mereka, entah kenapa bisa membuatku kuat dengan sendirinya. Dan disaat mataku terbuka, aku akan tersenyum seolah semua bebanku sudah terangkat.
Ya.. kadang hanya kenangan sederhana yang menyelamatkanmu.
Aku berencana turun dan membuat makan malam. Aku sudah melewatkan makan siang karena terlalu mual dengan bau tubuhku sendiri dan sekarang aku membutuhkan makan. Aku berjinjit diantara lemari makanan yang terlalu tinggi. Sungguh memiliki tubuh kecil kadang menyulitkan. Mungkin aku harus membuat lemari makanan ini sedikit lebih rendah.. ingatkan saja aku nanti.
Mengambil sebuah kursi kecil lalu kembali melongokkan kepalaku kedalam lemari. Hanya ada beberapa kentang dan daging beku. Mungkin aku bisa membuat steak malam ini.
Saat tengah asik berkutat dengan capit dan daging panggangku, sebuah kibasan hawa dingin menerpa punggungku. Leherku menegang. Kepalaku menegak. Membiarkan desisan daging terbakar didepanku tanpa membaliknya.
Apa itu?
Aku tak harus menoleh. Karena seperti yang terjadi di film, saat menoleh akan ada sebilah pisau yang menghujammu hingga mati. Tidak.. tidak.. segera kusingkirkan pikiran konyol itu dan kembali memikirkan kematangan dagingku saja. Mungkin itu hanya angin malam yang masuk karena aku lupa menutup jendela.
Tanganku terangkat dengan capit dan daging yang sudah matang saat hembusan hawa dingin tadi kembali kurasakan. Bukan... bukan hembusan... aku bisa sangat jelas merasakan sapuan dilenganku yang terbuka. Sapuan dingin yang memicu seluruh tubuhku membeku dan dagingku berhenti diudara.
Aku mencoba menggerakkan mataku menyapu ruangan. Lalu berbalik dan mengelilingi ruang dapur hingga ruang keluarga. Hanya ada suara tv diruang keluarga tadi yang kubiarkan menyala. Selebihnya hanya suara jam, desisan sayur yang dipanggang, dan suara nafasku yang terlalu keras. Aku tak pernah menyukai gelap. Itu sebabnya seluruh rumahku akan terus menyala jika malam tiba. Dan rumah seterang ini tak menampakkan sedikitpun sesuatu yang kiranya memberiku usapan dingin tadi.
Mungkin aku sedang mengalami halusinasi.. aku membiarkan pikiran itu membantuku lepas dari rasa takut yang akan menjadikanku tidak kuat berdiri untuk kekamar mandi. Jadi aku akan menyelesaikan makan malam dan kembali tidur secepatnya.
Saat memasuki dapur dan kembali melanjutkan pekerjaanku yang tertunda langkahku berhenti. Aku ingat dengan jelas... sangat jelas jika tadi aku sedang memanggang daging. Lalu ini... kenapa daging dan sayur yang kumasak sudah tersaji diatas piring?
Bukankah tadi dagingnya masih diatas panggangan. Ditambah ada segelas susu hangat disamping piring. Beberapa pikiran kembali berkelebat dikepalaku. Aku bahkan berdiri memandangi piring cukup lama. Apa mungkin aku mulai berhalusinasi lagi?
***
Kakiku berat. Kepalaku berputar. Pandangan didepanku gelap dan ranting-ranting tajam dibawahku menambah kesulitanku untuk berlari. Namun aku harus berlari.... aku tak mengerti kenapa tapi aku harus berlari dari sesuatu yang mengejarku.... seseorang...
Tubuhku jatuh terjerembab saat mengait sebilah ranting besar. Lututku bergores merah dan mengeluarkan cairan. Namun tidak terasa sakit. Aku meraih semak semak dan mencoba untuk berdiri. Bayangan hitam itu semakin mendekat. Aku berlari.... menghentak apapun didepanku yang menghalangi langkah lariku. Goresan demi goresan bersarang ditubuhku yang terbuka. Membuatnya mengeluarkan cairan merah kental...
Aku menoleh kebelakang. Bayangan hitam itu masih mengejarku tanpa berniat untuk berhenti. Bahkan ditengah usaha kerasku untuk menjauh dengan berlari bayangan itu sudah semakin mendekat dan seolah tepat berada dibelakang kepalaku.
Nafasku sesak. Aku kelelahan ... tapi kakiku tak mau berhenti... aku tak mau berhenti karena bayangan hitam dibelakangku masih mengejar. Bahkan tangannya menggapai-gapaiku.... sesaat diantara bayangan hitam yang menyelubunginya aku bisa melihat sepasang mata biru terang. Memberikan rasa takut yang kukenali sebelumnya dan membuatku semakin mendorong diriku kedepan.... menghindarinya sekuat tenaga...
Tolong.... tolong....
Aku berusaha berteriak namun suaraku tak bisa keluar. Tertinggal ditenggorokan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Nafasku bertalu... kakiku bergerak cepat. Aku membiarkan tubuhku menabrak apapun didepan sampai tiba pijakan kosong yang kutemukan. Tidak ada dataran padat yang menahan kakiku disana... kepanikan melandaku.. aku akan jatuh... jatuh kesebuah lembah gelap tanpa kutahu akan berujung dimana... atau itu tak memiliki ujung... tubuhku melambung kedepan... tertarik gravitasi dengan cepat sampai sebuah tangan mengelilingi perutku dan menariknya menjauh dari pijakan kosong yang menarikku kebawah. Membawa tubuhku masuk kedalam pelukannya dan membiarkan tubuhku jatuh diatas tubuhnya.
Kegelapan lain menyeretku masuk saat sayup-sayup aku mendengar sebuah suara.
"Aku menangkapmu.."
***
Sinar pagi menelusup masuk kedalam tirai jendela. Memaksa mataku terbuka karena silaunya yang tak mau berhenti. Sepertinya malam cepat sekali berganti. Aku merasa tidak cukup tidur dengan baik karena mimpi aneh yang kembali menyerangku.
Mimpi yang didalamnya berada sesosok bayangan bermata biru. Seketika mataku mengarah pada sofa dihadapanku. Berharap tidak menemukan seseorang disana.
Untungnya sofa itu masih kosong. Setidaknya pagi ini aku tak harus memikirkan kewarasanku sendiri...
Setelah mengumpulkan sedikit kesadaran aku merasakan sesuatu mengganjal diperutku. Tepatnya sesuatu yang menahanku. Pandanganku turun kearah perut dan menyibak selimut. Apa yang kutemukan dibawah sana ... yang sedang menindih perutku membuatku berteriak detik itu juga. Aku ingin beranjak dari sana secepatnya namun tangan yang tadi kulihat melilit tubuhku bergerak lebih cepat dari dugaanku.
Tangan itu kembali menurunkan tubuhku keatas ranjang dan menutup mulutku untuk membungkam suara nyaring yang keluar dari sana. Saat itulah keinginanku untuk berteriak semakin besar walau terhalang tangan yang menutup mulutku. Tubuhnya berada diatasku. Menindihku tak bergerak. Mataku terbuka terlalu lebar hanya untuk mendapati pemilik tangan besar ini. Wajahnya tepat berada didepanku. Bersama senyum yang sama persis dengan terakhir kali kulihat.
Bayangan bermata biru dimimpiku....
Laki-laki bermata biru yang masuk kedalam kamarku...
Laki-laki bermata biru yang berdiri diluar kelasku...
Laki-laki yang menindihku diatas ranjang....
"Selamat pagi, Alicia"
****

Shadow Kiss - Part 1 (Blue Eyes)



Mungkinkah aku masih bermimpi? Aku pasti masih bermimpi sekarang. Ya... benar.. Yang perlu kulakukan hanya menutup kedua mataku dan saat aku membuka mata tidak akan ada laki-laki bermata biru didalam kamarku. Hanya ada aku sendirian.
Namun sekuat apapun aku menutup mata, sosok misterius itu tetap berada disana. Menatapku tajam. Laki-laki itu masih betah duduk disofa dan memandangku bingung. Oke... bukankah yang berhak bingung sekarang disini adalah aku. Bagaimana bisa orang asing ini masuk kedalam kamarku saat aku tertidur. Bisa jadi dia adalah penjahat atau perampok yang kebetulan lewat. Pikiran buruk tentang apa yang telah dilakukan laki-laki ini menyergapku. Memaksaku meninggalkan matanya dan memandang ke tubuhku. Untunglah keadaanku masih sama seperti saat aku berangkat tidur...
Tapi tetap saja... dia siapa?!
"Si-siapa kau?" Akhirnya setelah berhasil mengumpulkan suara aku memberanikan diri menanyakannya. Kewaspadaan dalam diriku meningkat pesat mengingat orang asing ini dengan mudah bisa masuk.
Bukannya menjawab ia justru berdiri dan mendekat keujung ranjang. Alarm bahaya sudah berputar kencang dikepalaku ketika jarak antara aku dan dia hanya sebatas lebar ranjang ukuran queen ini.
Aku semakin menempel pada kepala ranjang. Berharap bisa menciptakan jarak lebih jauh dengannya. Kalau perlu tertelan dinding dibelakangku. Aku bisa merasakan tatapan tajamnya yang tak pernah lepas dariku. Bahkan aku yakin ia tak berkedip sedikit pun.
Oh Tuhan.. siapa orang asing ini sebenarnya.
"Bagaimana bisa kau masuk kedalam kesini? Siapa kau? Apakah Kau pencuri? " kediamannya membuatku kembali memberanikan diri untuk bicara. Namun bukan sebuah jawaban yang kudapatkan melainkah tawa renyah darinya. Wajahnya berubah dari dingin tak tersentuh menjadi hangat karena tawa yang tercipta dibibirnya. Sesaat aku mendapati diriku menyukai suaranya... suara tawanya... selimut yang kupegang erat sedari tadi pun perlahan mengendor dan jatuh disekeliling pinggangku.
Apa?
Aku terpesona?
Padanya?
Jelas tidak!
Aku sedang memikirkan keselamatanku saat ini.
Ia berhenti tertawa. Lalu melangkah mundur dan kembali duduk disofa. Bekas jejak geli masih kentara diwajahnya yang .... baru kusadari sangatlah tampan. Ia memiliki garis rahang tegas dengan bibir merah dan hidung yang luar biasa mancung. namun dari keseluruhan itu, matanya adalah hal pertama yang akan kau lihat dan mampu membuatmu terdiam beberapa saat.
Matanya begitu jernih... berwarna biru terang dan juga dingin... aku bisa membaca bahwa hanya dengan tatapan tajamnya bisa membekukan secangkir teh yang mengepul.
"Kau lucu juga ternyata"
Ia bicara?
Ia bisa bicara!!
Seketika tanpa bisa kusadari aku menghela nafas lega. Entah kenapa sesaat tadi, walau hanya selintas, pikiran primitifku mengatakan ia adalah makhluk dunia lain. Ia bisa jadi hantu yang bisa menembus dinding. Atau bisa jadi penyihir yang mampu memindahkan tubuhnya dari suatu tempat ketempat lain. Atau bisa jadi dia alien yang terdampar...
"Katakan, siapa kau? Kenapa kau bisa berada dikamarku"
Laki-laki itu masih diam. Tak terlihat sedikit pun ia berniat untuk menjawab pertanyaanku. Membuatku semakin gelisah antara ingin melemparinya dengan lampu meja atau berlari kabur saja keluar...
Aku melirik jam diatas dinding. Kesempatanku untuk bisa berangkat tepat waktu tinggal sedikit lagi. Aku tidak bisa terlambat jika tidak ingin hidupku semakin berat dikampus. Aku harus bisa mengeluarkan laki-laki ini sebelum apapun hal buruk yang ada dipikirannya bisa terjadi. Saat aku mengalihkan mataku dari jam kearahnya, seketika aku kembali tersentak.
Ia menghilang!
Laki-laki itu menghilang. Tidak ada orang yang menduduki sofa yang semenit lalu diduduki laki-laki bermata biru itu. Tiba-tiba seluruh tubuhku menegang. Aku yakin benar dia masih disana sebelum mataku beralih ke arah jam.
Dengan gemetar aku beranjak turun dari ranjang. Mengambil sebuah penggaris di bawah meja, dan menjadikannya sebagai tameng keselamatanku. Aku bergerak menuju sofa. Memastikan memang tidak ada apapun disana. Sudut-sudut jendela terkunci rapat. Tidak ada apapun.
Pandanganku meneliti lurus kearah luar jendela. Meremas keras ujung penggaris ditanganku. Barang kali ia melompat disana dan berlari keluar. Mataku fokus pada satu titik saat sesuatu yang lembut dan panas tiba-tiba saja mendarat dipipiku. Membuatku tersentak. Tanganku terangkat untuk merabanya. Aku bisa merasakan kehangatan disana.
Aku merasakan sebuah sentuhan.
Aku merasakannya. Sesuatu yang lembut. Sedikit basah. Seperti sebuah... kecupan. Aku memang tak tau pasti rasanya sebuah kecupan tapi aku bisa dengan jelas merasakan tekstur bibir disana.
Apa?!! Tidak... tidak...
Aku menjadi panik. Mataku berkeliling ruangan. Tubuhku berputar memastikan apa atau... siapa yang sedang mencoba mempermainkanku. Namun hanya kekosongan disini. Tidak ada seorang pun selain aku disini, berdiri dengan pipi bersemu merah.
Aku pasti masih bermimpi.
***
Kugelung asal rambut panjangku dan berlari cepat melewati semua orang. Aku tidak boleh terlambat. Tidak disaat aku bukan salah satu murid yang ingin diperhatikan. Menjadi pusat perhatian adalah daftar ter-paling- bawah rencanaku.
Saat sampai didepan kelas, aku baru membuang nafas dan menghirup sebanyak-banyaknya.. kelas dimulai jam 08.00. Aku mengamati jam kecil ditanganku menunjukkan 07.30. Aku menarik nafas lega karena hampir saja aku terlambat.
Saat memasuki kelas tidak ada seorang pun disana. Aku mengambil kursi paling depan didekat meja Dosen dan mulai mengeluarkan beberapa buku.
Menjadi anak paling 'aneh' - itu yang mereka katakan- diangkatanku bukanlah sesuatu yang membanggakan. Padahal ini baru minggu kedua semester dimulai tapi sepertinya semua orang sudah memiliki kelompok mereka masing masing. Hanya aku yang tidak memiliki teman bicara. Dan lebih banyak menunduk disaat orang lain disekitarku saling membagi tawa.
Kelemahanku dengan menjadi sulit untuk bersosialisasi dengan orang banyak membuat aku menjadi tersisihkan. Namun tidak hanya cukup dengan tersisihkan saja, karena itu pula lah yang membuatku menjadi bulan-bulanan orang lain.
Aku sudah mencoba untuk membuka diri, mencoba berinteraksi dan mengesampingkan perasaan risihku saat bicara dengan orang lain. Tetapi sayangnya, mereka semua lebih senang mengategorikanku sebagian bahan olok-olok mereka ketimbang memilahku menjadi salah satu teman.
Itu jugalah yang menjadikanku untuk masuk lebih pagi. Itu lebih baik daripada saat aku masuk harus diperhatikan oleh orang lain yang sudah berada dikelas sebelum aku.
Beberapa siswa masuk saat pelajaran akan dimulai. Bertambah banyak saat sudah berdiri seorang Dosen - ibu clara- didepan kelas dengan penggaris panjang dan spidol hitamnya.
Hanya ada beberapa orang yang duduk didepan. Hampir semua dari mereka lebih berebut untuk duduk dibelakang agar bisa dengan mudah mengabaikan pelajaran.
Kursi disebelahku kosong, seperti biasa. Bagiku, kosongnya kursi disebelahku membuatku terselamatkan dari harus bersikap ramah dan saling menyapa. Karena aku tak terlalu pandai melakukannya.
Pelajaran dimulai seperti biasa. Sampai fokusku terganggu dengan sebuah lemparan kertas yang mengenai kepala belakangku. Aku tidak menoleh untuk mencari tau itu ulah siapa karena hanya dengan mendengar suara cekikikan mereka cukup menjelaskan siapa pelakunya.
Aku tetap berusaha fokus mencatat dan mengabaikan sampai sesuatu berujung lancip kembali mendarat dikepalaku. Sebuah pulpen hitam kemudian jatuh dan menggekinding turun dibawah kakiku.
Mereka tidak akan berhenti.
Aku tetap berusaha diam dan melirik jam ditangan. Ingin sekali rasanya bisa mempercepat waktu dan menyelesaikan kelas ini. Mereka kembali melempariku dengan benda-benda dari balik punggung Dosen yang tengah mencatat.
Sampai suara teriakan menghentikan aktifitas semua orang dikelas ini. Ibu Clara sontak berbalik, diiringi dengan anak-anak yang lain yang juga menoleh kesumber teriakan.
Disana, dibangku paling belakang seorang wanita cantik berambut pirang mengusap-usap kepalanya dan memperlihatkan wajah kesakitannya.
"Ada apa Anggela?" Ibu Clara menurunkan kacamatanya sampai setengah hidung dan menatap dari ujung matanya.
"Alice melempariku dengan kotak pensil ini" katanya dengan menunjuk kotak pensil berwarna pink yang sudah berhamburan dilantai lalu menunjukku dengan bibirnya.
Apa?
Aku?
Kapan aku melakukannya?
Ibu clara tampak memperhatikanku lalu mengamati kotak pensil yang isinya sudah berceceran dilantai.
"Siapa pemilik kotak pensil itu?" Ibu clara menyuarakan suara kerasnya. Membuat kelas menjadi hening. Tidak ada yang berani bersuara dan menjawab. Melihat tidak ada satupun yang mengankat suara membuat nya berjalan melewati sela kursi dan berjongkok memungut kotak itu. Sesaat ia mengamati kotak itu lalu memandang Anggela dengan dahi berkerut.
"Baca tulisan ini!" perintahnya menunjuk sebuah tulisan dibagian belakang kotak. Anggela terlihat gugup dan berhenti mengusap kepalanya. Ia berkedip dan memilih diam dan tidak menjawab. Pilihan yang salah karena setelahnya suara menggelegar Ibu clara memecah keheningan dengan meledakkan kemarahannya.
"Kau pikir bagaimana caranya Alice melemparmu dengan kotak pensil milikmu sendiri?"
Anggela tersentak. Ia memandang gugup tangannya dan mencoba membela diri.
"Tadi memang dia... aku mencoba melemparkan itu padanya.. tapi... tapi itu tiba-tiba saja berbalik dan terlempar mengenaiku... aku.. aku"
"Kau mencoba melempar ini pada Alice?" Ibu Clara menaikkan sebelah alisnya tidak percaya.
"I-iya.. tadi... aku .. "
"Diam!!!" Ibu clara kembali berteriak. "Jika kau sedang berusaha mengacaukan kelasku kau bisa keluar sekarang. Aku tidak bisa dibodohi dengan cerita tidak masuk akalmu. Jadi, jaga sikapmu jika memang kau masih ingin mendapatkan kursi dimata kuliahku, kau mengerti?!"
Anggela memilih untuk diam dan melotot padaku. Aku lebih memilih untuk berbalik dan menghindari tatapan intimidasinya. Sudah bisa kupastikan ia akan mencariku selepas kelas ini bubar. Tanganku bergerak tidak nyaman.
Apa tadi yang Anggela katakan? Aku tau ia yang melempariku sedari tadi. Tetapi yang mengejutkanku ia mengatakan lemparannya justru berbalik kearahnya. Apakah hanya aku yang menganggapnya aneh? Atau memang ia yang sedang berhalusinasi.
Entah kenapa aku merasakan hawa berbeda disekitarku. Disekelilingku masih sama sunyinya karena Ibu Clara kembali mencatat di papan tulis dan semua orang kembali fokus memperhatikan. Namun hawa dingin ini semakin menyengat kurasakan sampai sebuah sentuhan ringan mendarat dipipiku. Lembut... hangat..
Tubuhku membeku ditempat. Kedua tanganku mencengkram keras tepian meja. Bahkan tanpa bisa kusadari dadaku berdegul cepat.
Lagi... aku bisa merasakannya lagi. Sentuhan hangat itu. Sentuhan yang mirip sebuah kecupan ringan. Mendarat tepat dipipiku persis seperti yang kurasakan tadi pagi.
Aku tak berani menoleh. Karena aku tau yang kudapati hanya angin. Namun sudut mataku menangkap sesuatu diujung sana. Memaksaku memalingkan wajah dan kembaki terkesiap.
Diluar kelas, didepan pintu ... seseorang sedang bersandar dengan santai. Kedua tangannya masuk kedalam saku celana dan tengah tersenyum kearahku.
Oh tidak...!!
Itu .... dia....
Laki-laki bermata biru....
***

Gime Me Your Heart - cerita wattpad Romantis (Mature) Part 1




Matahari yang menyengat nampaknya tidak menjadi gangguan sama sekali untuk anak-anak TK Harapan Bunda bermain dilapangan sekolah. Walau sekolah ini hanya sekolah tingkat Taman Kanak Kanak namun fasilitas yang disediakan sudah sangat lengkap dan berkualitas.
Mulai dari lapangan luas, berbagai macam permainan terletak di kiri lapangan, dan tempat teduh seperti gajebo disepanjang tepi lapangan.Tentunya semua fasilitas ini sesuai dengan uang yang dikeluarkan dari kantong orang tua murid tiap bulannya.
Ada yang sedang bermain bola sepak ditengah lapangan. Ada yang bermain perosotan, ungkat-ungkit. Sedangkan untuk anak perempuan lebih memilih duduk dibawah pohon dengan buku gambar atau boneka yang dibawanya.
Melihat anak-anak ini membuatku merasa tenang dan cemburu dalam satu waktu. Tenang karena wajah polos mereka yang membuatku selalu tersenyum saat memperhatikan tingkahnya. Seolah setiap masalahku ikut lenyap bersama keceriaan mereka.
Dan cemburu karena aku iri dengan kehidupan sempurna mereka.
Mereka tidak perlu takut kekurangan makanan. Mereka memiliki segalanya yang mereka mau. Bahkan masa depan mereka sudah dijamin. Memiliki jabatan, hidup senang dengan kekayaan berlimpah dan.....
Sudahlah. Mungkin aku harus berhenti memikirkan yang tidak-tidak. Ini hanya akan membuat hatiku tambah sakit. Sesaat aku jadi ingat kedua orang tuaku.
Mereka meninggal karena kecelakaan waktu aku berumur 15 tahun. Saat itu mereka pamit pergi untuk mengunjungi teman lama dan berjanji akan membawakanku martabak saat pulang. Namun bukan martabak telor kesukaanku yang kudapat malah berita buruk tentang kecelakaan mereka di jalan Tol.
Semenjak itu aku hanya tinggal bedua dengan kak Velo. Diawal sepeninggal Ayah dan Ibu dia sangat terpukul. Bukan berarti aku tidak. Hanya saja aku tidak memiliki waktu untuk meratapi nasib. Kenyataannya, Kakakku lebih lemah untuk menerima itu semua.
Beberapa bulan setelah kecelakaan Ayah dan Ibu, aku menemukan sebuah penggaris persegi panjang dengan dua garis merah digenggaman tangan kak Velo, disamping tubuhnya yang tergeletak didalam kamar mandi dengan penggelangan tangan berdarah.
Saat itu aku masih belum mengerti apapun. Aku hanya berteriak meminta tolong sampai tetangga datang dan mengangkat tubuh kakak untuk dibawa kerumah sakit.
Saat itu yang kuingat adalah perkataan dokter yang mengatakan bahwa kak Velo hamil. Dan mencoba bunuh diri karena depresi berat. Aku belum mengerti dengan semua itu sampai aku kembali menemukan kak Velo tergeletak dibawah tangga darurat rumah sakit dengan posisi mengerikan.
Kandungannya tidak bisa diselamatkan. Sedangkan depresinya semakin menggerogoti kewarasannya.
Rupanya Tuhan belum puas hanya dengan mengambil Ayah dan Ibuku saja.
Aku tidak tau siapa yang membuat kak Velo hamil. Karena aku tidak pernah tau ia berhubungan dengan seorang laki-laki. Setahuku ia sangat menghindari makhluk bernama laki-laki karena tidak percaya dengan mulut manis mereka. Menemukan ia mengandung adalah hal mengejutkan lain untukku.
Sejak saat itu aku menjalani hidup sendiri. Bersama kak Velo yang tidak pernah merespon ucapanku aku berusaha untuk tetap hidup.
Setelah menyelesaikan SMA dengan biaya beasiswa aku mengabdikan diri untuk pengobatan Kak Velo dan kehidupanku yang kurang beruntung.
Ditengah lamunanku aku dikejutkan dengan tarikan halus dari sweater yang kukenakan. Seorang anak laki-laki dengan poni tebal dan pipi tembem tengah menarik sweterku. Lucu sekali. Aku berjongkok untuk menyetarakan kepala kami dan tersenyum.
"Ada apa Daffa?."
Dia adalah anak paling pendiam dikelas. Padahal setahuku dia adalah anak paling tampan. Wajahnya putih mulus. Bibir kecilnya merah sempurna. Pipi tembemnya membuat siapa saja tidak bisa tahan untuk sekedar mecubit. Dia juga anak konglomerat Jakarta. Aku tau ini dari gossip para guru disini. Mereka selalu membicarakan orang tua murid yang seperti berlomba-lomba memamerkan harta jika sedang dalam rapat orang tua murid.
Dia menunjuk lututnya. Ada goresan merah disana. Mungkin dia terjatuh saat bermain. Dan hebatnya dia tidak menangis atau menunjukkan rasa sakit. Anak ini memang favoritku. Selain pintar dia juga tidak pernah rewel. Tidak seperti anak-anak lain yang kelewat manja hanya untuk memasang sepatu atau menutup resleting tas mereka.
"Ibu obatin ya. lain kali kalau main hati-hati. Kasian kan kakinya."
Aku mengambil tisu basah didalam tas selempang dan plester luka berbentuk bintang. Sifatku yang ceroboh dan pengalamanku mengajar anak-anak disini membuatku selalu menyediakan plester luka didalam tas. Untuk berjaga-jaga jika terjadi kejadian seperti ini.
Daffa duduk diundakan teras kelas sedangkan aku berjongkok didepannya. Memasangkan plester dengan tangannya memainkan rambutku yang tidak tergelung sempurna.
"Aku suka rambut Ibu." katanya dengan masih memainkan rambutku dengan jarinya seperti membuat lingkaran. Suaranya saja sangat merdu. Ada ya anak kecil tapi sudah tampan seperti ini. Membuatku gemas dan kemudian mengelus pipinya pelan.
"kenapa memangnya dengan rambut Ibu?"
"warnanya coklat. Sama kaya Mama."
"oh ya?" aku langsung tertarik mendengar jawabannya. Karena selama ini dia sangat jarang bicara, kalau bukan karena disuruh bernyanyi atau menjawab soal didalam kelas.
"pasti Mama Daffa cantik."
Dia menghentikan kegiatannya memainkan rambutku. Plester luka sudah terpasang rapi dilututnya. Aku masih mempertahankan posisiku karena aku sangat senang memandangi wajahnya.
"mama sangat cantik. Mama selalu membuatkan Daffa susu coklat. Mama juga selalu membacakan cerita sebelum Daffa tidur. Dan Rambut mama juga selalu diginikan kalau lagi masak."
Tangannya kembali meraih ujung rambutku dan memainkannya. Sepertinya dia senang membicarakan mamanya. Hal yang cukup bagus karena dia sudah mau bicara banyak.
"Ibu jadi ingin bertemu Mama Daffa. Biar Ibu bisa kasih tau kalau Daffa selama ini sudah jadi anak yang baik dan pintar di sekolah."
"Daffa juga pengen ketemu. Tapi gak bisa." ucapnya pelan. Sebersit kalimatnya menyiratkan kesedihan. Membuat perasaanku jadi tidak nyaman.
"Kata Papa, Mama lagi ke rumah Tuhan. Daffa gak boleh ikut."
Seketika aku mematung mendengar celotehan polosnya. Ini diluar perkiraanku. Aku memang belum pernah bertemu Mama Daffa. Yang hadir selalu neneknya jika ada pertemuan atau rapat orang tua.
Ada rasa bersalah dihatiku saat tau Daffa yang sudah kehilangan orang tuanya diusianya yang masih terlalu kecil. Membuatku merasa bersalah karena tadi sempat marah dengan Tuhan atas nasibku sekarang. Padahal diluar sana masih banyak orang yang kurang beruntung. Anak manis ini contohnya.
Aku beranjak maju dan memeluknya. Tubuh kecilnya tenggelam dibahuku. Aku mengelus rambut tebalnya. Seolah bisa memberi penjelasan bahwa dia tidak sendirian.
"Mama Daffa pasti bahagia disana." Ucapku pelan. Karena jika suaraku terdengar lebih keras mungkin aku tak bisa mengontrol suara isakanku.
"Kenapa bahagia? Memangnya disini Mama tidak bahagia? Disini kan ada Daffa. Ada papa. Kenapa Mama lebih memilih tinggal sama Tuhan?"
Aku menarik nafas panjang. Pertanyaannya sungguh menyayat hati. Tidak seharusnya anak kecil seperti dia mempertanyakan kenapa mamanya lebih memilih tinggal dengan Tuhan.
"Mama Daffa bahagia karena dia bisa selalu melihat Daffa dari langit." Jawabku setelah menimbang-nimbang jawaban seperti apa yang cocok untuknya.
"langit?" dia menjauhkan kepalanya dari bahuku dan menatapku. Posisinya masih didalam kurungan tanganku.
"iya. Rumah Tuhan kan dilangit. Jadi Mama Daffa selalu bisa lihat daffa. Mama daffa duduk disebelah Tuhan. Dia selalu mengawasi Daffa setiap saat dan melaporkannya sama Tuhan. Daffa yang baik. Daffa yang pinter. Daffa yang tidak cengeng. Dan Daffa tau, Mama Daffa sangat senang punya anak seperti Daffa. "
Awalnya dia mengerutkan dahi mendengar penjelasanku. Namun sedikit demi sedikit senyum tergambar dibibirnya.
"tapi kenapa Tuhan gak ngebolehin Mama pulang?"
"karena Tuhan sayang sama Mama Daffa. Mama daffa sudah dijadikan malaikat diatas sana. Yang tugasnya jagain Daffa disini. Jadi kalau Daffa nangis atau nakal. Mama pasti tau" aku menjawil hidungnya yang membuatnya tertawa.
"tapi kalau Daffa kangen sama Mama gimana bu?"
"kalau Daffa kangen, Daffa tinggal berdoa sama Tuhan untuk titip salam sama Mama. Pasti mama bakal datang di mimpi Daffa"
Mendengar jawabanku senyum daffa kembali mekar. Dia kembali memelukku erat. Dan memainkan rambutku dari belakang. Anak ini manis sekali. Membuatku mengeratkan pelukan dan mengecup pipi tembemnya.
"Papa...."
Daffa berteriak tepat disamping telingaku. Karena posisinya yang memelukku tadi. Sepertinya dia memanggil seseorang yang berada dibelakangku.
Daffa dengan cepat melepaskan pelukan kami dan berlari kearah belakang punggungku. Aku masih mendengar lengkingan suaranya memanggil papa sementara aku merapikan kotak peralatan tempat plester luka tadi.
Ketika aku berbalik, aku tersentak mundur beberapa langkah melihat malaikat sedang berdiri dihadapanku.
Oh bukan. Dia bukan malaikat. Kakinya masih diatas tanah. Tapi wajahnya tidak masuk akal. Mana mungkin ada wajah manusia sebagus ini. Maksudku sangat tidak adil wajahnya begitu ... tampan.
Hmm bukannya apa. Tapi selama aku hidup aku hanya tau kalau wajah tampan dan cantik hanya dimiliki artis atau orang berduit untuk operasi plastic.
Kenapa aku jadi ngelantur begini. Tapi jujur. Hanya dengan melihatnya saja sudah mematikan beberapa fungsi saraf otakku yang membuatku masih tak berkedip memandangnya.
Laki-laki tampan ini sedang menggendong daffa. Jadi ini...
"Selamat Siang."
Ya Tuhan suaranya...
Aku bisa meleleh sekarang juga. Apa harus ditambah dengan tatapan dalamnya yang sejurus menatapku. Mungkin aku perlu berpegangan pada sesuatu.
Dinding mana dinding.
Disaat aku masih terpaku memandangnya, aku masih bisa melihat kalau Daffa membisikkan sesuatu ketelinganya yang membuatnya tersenyum.
Dan senyumnya. Mungkin tak perlu kujelaskan lagi bagaimana itu membutakanku.
"selamat siang Ibu Nina."
Astaga. Ini sapaan keduanya setelah sapaan pertamanya kutelan bulat-bulat.
"Se-selamat siang." sialnya suaraku gagal keluar dengan sempurna. Aku meremas-remas tanganku. kebiasaan yang selalu muncul jika sedang tegang atau dalam keadaan seperti sekarang.
Gugup.
"saya mau menjemput Daffa untuk pulang." suara dalamnya kembali membelai telingaku. Tapi kali ini aku harus lebih kuat untuk tidak terlalu terlena.
"i-iya." dan usaha sekuat tenagaku untuk tenang hanya mengasilkan jawaban singkat itu. ayolah Nina. Kamu bukan remaja kemaren sore lagi.
Daffa turun dari gendongan Papa - laki laki tampan- nya kemudian berlari kedalam kelas. Mungkin dia ingin mengambil tas dan mainannya. Membuatku harus berhadapan langsung dengan si penghancur ketenangan ini.
Apa aku mulai berlebihan?
Sialan.
"terima kasih."
Dia yang memulai memecah keheningan. Dia mengatakannya sambil tersenyum. Membuatku hampir tidak mendengar apa yang dia katakan. Mungkin aku hanya membaca gerak bibirnya.
"terima kasih untuk apa?" akhirnya kesadaranku kembali. Untuk apa ucapan terima kasih itu.
Dia melangkah maju sedikit yang membuat jarak diantara kami menjadi sempit. Seharusnya dia dipasangi tanda dilarang mendekat bagi yang memiliki jantung lemah.
"terima kasih untuk penjelasannya tentang Mama Daffa."
Jadi dia mendengarnya. Memangnya sejak kapan dia datang. Dimana dia berada sejak tadi.
"i-itu, bukan masalah." reflex aku menunduk. Aku tidak tahan dengan tatapannya. Tatapannya membuatku malu. Entah malu karena apa.
"itu adalah penjelasan paling manis yang pernah kudengar. Sekali lagi terima kasih."
Kali ini dia tersenyum lebar. Untung saja Daffa sudah keluar dari kelas dan menarik laki-laki berpengaruh besar ini untuk pulang. Kalau tidak mungkin dia bisa melihat wajahku yang kurang lebih seperti tomat matang sekarang.
Namun tidak cukup sampai disitu. Dia menahan tarikan tangan daffa dan berbalik kembali menghadapku.
"Ibu Nina, mungkin kita harus mengenal lebih dekat?"
Perkataannya tenang dan terkontrol.seolah itu adalah hal yang biasa diucapkan seperti ucapan salam. Hal berbeda terjadi padaku yang bereaksi berlebihan dengan melotot dan aku yakin dia mendengar pekikan kecilku. Membuatnya tersenyum geli sekarang.
Tarikan daffa ditangan kirinya tidak menggoyahkan tubuhnya yang berdiri sempurna. Sesaat sekelilingku berhenti saat dia mengulurkan tangannya dan mengambil tanganku yang menggantung. Tanganku terlihat kecil ditangan besarnya. Dia meremasnya lembut yang kembali mengguncang ketenanganku.
"Saya Daniel. Setelah ini mungkin kita akan sering bertemu."
Dia berbalik dan menggandeng Daffa menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari sana.
Apa-apaan itu tadi. Kami hanya bertemu sekali dan dia sudah menjanjikan hal tidak-tidak macam itu.
Mungkin itu hanya halusinasiku saja.
Ya kan?
Sepertinya aku perlu sedikit berbaring.