Tuesday, March 1, 2016

Gime Me Your Heart - cerita wattpad Romantis (Mature) Part 1




Matahari yang menyengat nampaknya tidak menjadi gangguan sama sekali untuk anak-anak TK Harapan Bunda bermain dilapangan sekolah. Walau sekolah ini hanya sekolah tingkat Taman Kanak Kanak namun fasilitas yang disediakan sudah sangat lengkap dan berkualitas.
Mulai dari lapangan luas, berbagai macam permainan terletak di kiri lapangan, dan tempat teduh seperti gajebo disepanjang tepi lapangan.Tentunya semua fasilitas ini sesuai dengan uang yang dikeluarkan dari kantong orang tua murid tiap bulannya.
Ada yang sedang bermain bola sepak ditengah lapangan. Ada yang bermain perosotan, ungkat-ungkit. Sedangkan untuk anak perempuan lebih memilih duduk dibawah pohon dengan buku gambar atau boneka yang dibawanya.
Melihat anak-anak ini membuatku merasa tenang dan cemburu dalam satu waktu. Tenang karena wajah polos mereka yang membuatku selalu tersenyum saat memperhatikan tingkahnya. Seolah setiap masalahku ikut lenyap bersama keceriaan mereka.
Dan cemburu karena aku iri dengan kehidupan sempurna mereka.
Mereka tidak perlu takut kekurangan makanan. Mereka memiliki segalanya yang mereka mau. Bahkan masa depan mereka sudah dijamin. Memiliki jabatan, hidup senang dengan kekayaan berlimpah dan.....
Sudahlah. Mungkin aku harus berhenti memikirkan yang tidak-tidak. Ini hanya akan membuat hatiku tambah sakit. Sesaat aku jadi ingat kedua orang tuaku.
Mereka meninggal karena kecelakaan waktu aku berumur 15 tahun. Saat itu mereka pamit pergi untuk mengunjungi teman lama dan berjanji akan membawakanku martabak saat pulang. Namun bukan martabak telor kesukaanku yang kudapat malah berita buruk tentang kecelakaan mereka di jalan Tol.
Semenjak itu aku hanya tinggal bedua dengan kak Velo. Diawal sepeninggal Ayah dan Ibu dia sangat terpukul. Bukan berarti aku tidak. Hanya saja aku tidak memiliki waktu untuk meratapi nasib. Kenyataannya, Kakakku lebih lemah untuk menerima itu semua.
Beberapa bulan setelah kecelakaan Ayah dan Ibu, aku menemukan sebuah penggaris persegi panjang dengan dua garis merah digenggaman tangan kak Velo, disamping tubuhnya yang tergeletak didalam kamar mandi dengan penggelangan tangan berdarah.
Saat itu aku masih belum mengerti apapun. Aku hanya berteriak meminta tolong sampai tetangga datang dan mengangkat tubuh kakak untuk dibawa kerumah sakit.
Saat itu yang kuingat adalah perkataan dokter yang mengatakan bahwa kak Velo hamil. Dan mencoba bunuh diri karena depresi berat. Aku belum mengerti dengan semua itu sampai aku kembali menemukan kak Velo tergeletak dibawah tangga darurat rumah sakit dengan posisi mengerikan.
Kandungannya tidak bisa diselamatkan. Sedangkan depresinya semakin menggerogoti kewarasannya.
Rupanya Tuhan belum puas hanya dengan mengambil Ayah dan Ibuku saja.
Aku tidak tau siapa yang membuat kak Velo hamil. Karena aku tidak pernah tau ia berhubungan dengan seorang laki-laki. Setahuku ia sangat menghindari makhluk bernama laki-laki karena tidak percaya dengan mulut manis mereka. Menemukan ia mengandung adalah hal mengejutkan lain untukku.
Sejak saat itu aku menjalani hidup sendiri. Bersama kak Velo yang tidak pernah merespon ucapanku aku berusaha untuk tetap hidup.
Setelah menyelesaikan SMA dengan biaya beasiswa aku mengabdikan diri untuk pengobatan Kak Velo dan kehidupanku yang kurang beruntung.
Ditengah lamunanku aku dikejutkan dengan tarikan halus dari sweater yang kukenakan. Seorang anak laki-laki dengan poni tebal dan pipi tembem tengah menarik sweterku. Lucu sekali. Aku berjongkok untuk menyetarakan kepala kami dan tersenyum.
"Ada apa Daffa?."
Dia adalah anak paling pendiam dikelas. Padahal setahuku dia adalah anak paling tampan. Wajahnya putih mulus. Bibir kecilnya merah sempurna. Pipi tembemnya membuat siapa saja tidak bisa tahan untuk sekedar mecubit. Dia juga anak konglomerat Jakarta. Aku tau ini dari gossip para guru disini. Mereka selalu membicarakan orang tua murid yang seperti berlomba-lomba memamerkan harta jika sedang dalam rapat orang tua murid.
Dia menunjuk lututnya. Ada goresan merah disana. Mungkin dia terjatuh saat bermain. Dan hebatnya dia tidak menangis atau menunjukkan rasa sakit. Anak ini memang favoritku. Selain pintar dia juga tidak pernah rewel. Tidak seperti anak-anak lain yang kelewat manja hanya untuk memasang sepatu atau menutup resleting tas mereka.
"Ibu obatin ya. lain kali kalau main hati-hati. Kasian kan kakinya."
Aku mengambil tisu basah didalam tas selempang dan plester luka berbentuk bintang. Sifatku yang ceroboh dan pengalamanku mengajar anak-anak disini membuatku selalu menyediakan plester luka didalam tas. Untuk berjaga-jaga jika terjadi kejadian seperti ini.
Daffa duduk diundakan teras kelas sedangkan aku berjongkok didepannya. Memasangkan plester dengan tangannya memainkan rambutku yang tidak tergelung sempurna.
"Aku suka rambut Ibu." katanya dengan masih memainkan rambutku dengan jarinya seperti membuat lingkaran. Suaranya saja sangat merdu. Ada ya anak kecil tapi sudah tampan seperti ini. Membuatku gemas dan kemudian mengelus pipinya pelan.
"kenapa memangnya dengan rambut Ibu?"
"warnanya coklat. Sama kaya Mama."
"oh ya?" aku langsung tertarik mendengar jawabannya. Karena selama ini dia sangat jarang bicara, kalau bukan karena disuruh bernyanyi atau menjawab soal didalam kelas.
"pasti Mama Daffa cantik."
Dia menghentikan kegiatannya memainkan rambutku. Plester luka sudah terpasang rapi dilututnya. Aku masih mempertahankan posisiku karena aku sangat senang memandangi wajahnya.
"mama sangat cantik. Mama selalu membuatkan Daffa susu coklat. Mama juga selalu membacakan cerita sebelum Daffa tidur. Dan Rambut mama juga selalu diginikan kalau lagi masak."
Tangannya kembali meraih ujung rambutku dan memainkannya. Sepertinya dia senang membicarakan mamanya. Hal yang cukup bagus karena dia sudah mau bicara banyak.
"Ibu jadi ingin bertemu Mama Daffa. Biar Ibu bisa kasih tau kalau Daffa selama ini sudah jadi anak yang baik dan pintar di sekolah."
"Daffa juga pengen ketemu. Tapi gak bisa." ucapnya pelan. Sebersit kalimatnya menyiratkan kesedihan. Membuat perasaanku jadi tidak nyaman.
"Kata Papa, Mama lagi ke rumah Tuhan. Daffa gak boleh ikut."
Seketika aku mematung mendengar celotehan polosnya. Ini diluar perkiraanku. Aku memang belum pernah bertemu Mama Daffa. Yang hadir selalu neneknya jika ada pertemuan atau rapat orang tua.
Ada rasa bersalah dihatiku saat tau Daffa yang sudah kehilangan orang tuanya diusianya yang masih terlalu kecil. Membuatku merasa bersalah karena tadi sempat marah dengan Tuhan atas nasibku sekarang. Padahal diluar sana masih banyak orang yang kurang beruntung. Anak manis ini contohnya.
Aku beranjak maju dan memeluknya. Tubuh kecilnya tenggelam dibahuku. Aku mengelus rambut tebalnya. Seolah bisa memberi penjelasan bahwa dia tidak sendirian.
"Mama Daffa pasti bahagia disana." Ucapku pelan. Karena jika suaraku terdengar lebih keras mungkin aku tak bisa mengontrol suara isakanku.
"Kenapa bahagia? Memangnya disini Mama tidak bahagia? Disini kan ada Daffa. Ada papa. Kenapa Mama lebih memilih tinggal sama Tuhan?"
Aku menarik nafas panjang. Pertanyaannya sungguh menyayat hati. Tidak seharusnya anak kecil seperti dia mempertanyakan kenapa mamanya lebih memilih tinggal dengan Tuhan.
"Mama Daffa bahagia karena dia bisa selalu melihat Daffa dari langit." Jawabku setelah menimbang-nimbang jawaban seperti apa yang cocok untuknya.
"langit?" dia menjauhkan kepalanya dari bahuku dan menatapku. Posisinya masih didalam kurungan tanganku.
"iya. Rumah Tuhan kan dilangit. Jadi Mama Daffa selalu bisa lihat daffa. Mama daffa duduk disebelah Tuhan. Dia selalu mengawasi Daffa setiap saat dan melaporkannya sama Tuhan. Daffa yang baik. Daffa yang pinter. Daffa yang tidak cengeng. Dan Daffa tau, Mama Daffa sangat senang punya anak seperti Daffa. "
Awalnya dia mengerutkan dahi mendengar penjelasanku. Namun sedikit demi sedikit senyum tergambar dibibirnya.
"tapi kenapa Tuhan gak ngebolehin Mama pulang?"
"karena Tuhan sayang sama Mama Daffa. Mama daffa sudah dijadikan malaikat diatas sana. Yang tugasnya jagain Daffa disini. Jadi kalau Daffa nangis atau nakal. Mama pasti tau" aku menjawil hidungnya yang membuatnya tertawa.
"tapi kalau Daffa kangen sama Mama gimana bu?"
"kalau Daffa kangen, Daffa tinggal berdoa sama Tuhan untuk titip salam sama Mama. Pasti mama bakal datang di mimpi Daffa"
Mendengar jawabanku senyum daffa kembali mekar. Dia kembali memelukku erat. Dan memainkan rambutku dari belakang. Anak ini manis sekali. Membuatku mengeratkan pelukan dan mengecup pipi tembemnya.
"Papa...."
Daffa berteriak tepat disamping telingaku. Karena posisinya yang memelukku tadi. Sepertinya dia memanggil seseorang yang berada dibelakangku.
Daffa dengan cepat melepaskan pelukan kami dan berlari kearah belakang punggungku. Aku masih mendengar lengkingan suaranya memanggil papa sementara aku merapikan kotak peralatan tempat plester luka tadi.
Ketika aku berbalik, aku tersentak mundur beberapa langkah melihat malaikat sedang berdiri dihadapanku.
Oh bukan. Dia bukan malaikat. Kakinya masih diatas tanah. Tapi wajahnya tidak masuk akal. Mana mungkin ada wajah manusia sebagus ini. Maksudku sangat tidak adil wajahnya begitu ... tampan.
Hmm bukannya apa. Tapi selama aku hidup aku hanya tau kalau wajah tampan dan cantik hanya dimiliki artis atau orang berduit untuk operasi plastic.
Kenapa aku jadi ngelantur begini. Tapi jujur. Hanya dengan melihatnya saja sudah mematikan beberapa fungsi saraf otakku yang membuatku masih tak berkedip memandangnya.
Laki-laki tampan ini sedang menggendong daffa. Jadi ini...
"Selamat Siang."
Ya Tuhan suaranya...
Aku bisa meleleh sekarang juga. Apa harus ditambah dengan tatapan dalamnya yang sejurus menatapku. Mungkin aku perlu berpegangan pada sesuatu.
Dinding mana dinding.
Disaat aku masih terpaku memandangnya, aku masih bisa melihat kalau Daffa membisikkan sesuatu ketelinganya yang membuatnya tersenyum.
Dan senyumnya. Mungkin tak perlu kujelaskan lagi bagaimana itu membutakanku.
"selamat siang Ibu Nina."
Astaga. Ini sapaan keduanya setelah sapaan pertamanya kutelan bulat-bulat.
"Se-selamat siang." sialnya suaraku gagal keluar dengan sempurna. Aku meremas-remas tanganku. kebiasaan yang selalu muncul jika sedang tegang atau dalam keadaan seperti sekarang.
Gugup.
"saya mau menjemput Daffa untuk pulang." suara dalamnya kembali membelai telingaku. Tapi kali ini aku harus lebih kuat untuk tidak terlalu terlena.
"i-iya." dan usaha sekuat tenagaku untuk tenang hanya mengasilkan jawaban singkat itu. ayolah Nina. Kamu bukan remaja kemaren sore lagi.
Daffa turun dari gendongan Papa - laki laki tampan- nya kemudian berlari kedalam kelas. Mungkin dia ingin mengambil tas dan mainannya. Membuatku harus berhadapan langsung dengan si penghancur ketenangan ini.
Apa aku mulai berlebihan?
Sialan.
"terima kasih."
Dia yang memulai memecah keheningan. Dia mengatakannya sambil tersenyum. Membuatku hampir tidak mendengar apa yang dia katakan. Mungkin aku hanya membaca gerak bibirnya.
"terima kasih untuk apa?" akhirnya kesadaranku kembali. Untuk apa ucapan terima kasih itu.
Dia melangkah maju sedikit yang membuat jarak diantara kami menjadi sempit. Seharusnya dia dipasangi tanda dilarang mendekat bagi yang memiliki jantung lemah.
"terima kasih untuk penjelasannya tentang Mama Daffa."
Jadi dia mendengarnya. Memangnya sejak kapan dia datang. Dimana dia berada sejak tadi.
"i-itu, bukan masalah." reflex aku menunduk. Aku tidak tahan dengan tatapannya. Tatapannya membuatku malu. Entah malu karena apa.
"itu adalah penjelasan paling manis yang pernah kudengar. Sekali lagi terima kasih."
Kali ini dia tersenyum lebar. Untung saja Daffa sudah keluar dari kelas dan menarik laki-laki berpengaruh besar ini untuk pulang. Kalau tidak mungkin dia bisa melihat wajahku yang kurang lebih seperti tomat matang sekarang.
Namun tidak cukup sampai disitu. Dia menahan tarikan tangan daffa dan berbalik kembali menghadapku.
"Ibu Nina, mungkin kita harus mengenal lebih dekat?"
Perkataannya tenang dan terkontrol.seolah itu adalah hal yang biasa diucapkan seperti ucapan salam. Hal berbeda terjadi padaku yang bereaksi berlebihan dengan melotot dan aku yakin dia mendengar pekikan kecilku. Membuatnya tersenyum geli sekarang.
Tarikan daffa ditangan kirinya tidak menggoyahkan tubuhnya yang berdiri sempurna. Sesaat sekelilingku berhenti saat dia mengulurkan tangannya dan mengambil tanganku yang menggantung. Tanganku terlihat kecil ditangan besarnya. Dia meremasnya lembut yang kembali mengguncang ketenanganku.
"Saya Daniel. Setelah ini mungkin kita akan sering bertemu."
Dia berbalik dan menggandeng Daffa menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari sana.
Apa-apaan itu tadi. Kami hanya bertemu sekali dan dia sudah menjanjikan hal tidak-tidak macam itu.
Mungkin itu hanya halusinasiku saja.
Ya kan?
Sepertinya aku perlu sedikit berbaring.

No comments:

Post a Comment