Tuesday, March 1, 2016

Shadow Kiss - Part 1 (Blue Eyes)



Mungkinkah aku masih bermimpi? Aku pasti masih bermimpi sekarang. Ya... benar.. Yang perlu kulakukan hanya menutup kedua mataku dan saat aku membuka mata tidak akan ada laki-laki bermata biru didalam kamarku. Hanya ada aku sendirian.
Namun sekuat apapun aku menutup mata, sosok misterius itu tetap berada disana. Menatapku tajam. Laki-laki itu masih betah duduk disofa dan memandangku bingung. Oke... bukankah yang berhak bingung sekarang disini adalah aku. Bagaimana bisa orang asing ini masuk kedalam kamarku saat aku tertidur. Bisa jadi dia adalah penjahat atau perampok yang kebetulan lewat. Pikiran buruk tentang apa yang telah dilakukan laki-laki ini menyergapku. Memaksaku meninggalkan matanya dan memandang ke tubuhku. Untunglah keadaanku masih sama seperti saat aku berangkat tidur...
Tapi tetap saja... dia siapa?!
"Si-siapa kau?" Akhirnya setelah berhasil mengumpulkan suara aku memberanikan diri menanyakannya. Kewaspadaan dalam diriku meningkat pesat mengingat orang asing ini dengan mudah bisa masuk.
Bukannya menjawab ia justru berdiri dan mendekat keujung ranjang. Alarm bahaya sudah berputar kencang dikepalaku ketika jarak antara aku dan dia hanya sebatas lebar ranjang ukuran queen ini.
Aku semakin menempel pada kepala ranjang. Berharap bisa menciptakan jarak lebih jauh dengannya. Kalau perlu tertelan dinding dibelakangku. Aku bisa merasakan tatapan tajamnya yang tak pernah lepas dariku. Bahkan aku yakin ia tak berkedip sedikit pun.
Oh Tuhan.. siapa orang asing ini sebenarnya.
"Bagaimana bisa kau masuk kedalam kesini? Siapa kau? Apakah Kau pencuri? " kediamannya membuatku kembali memberanikan diri untuk bicara. Namun bukan sebuah jawaban yang kudapatkan melainkah tawa renyah darinya. Wajahnya berubah dari dingin tak tersentuh menjadi hangat karena tawa yang tercipta dibibirnya. Sesaat aku mendapati diriku menyukai suaranya... suara tawanya... selimut yang kupegang erat sedari tadi pun perlahan mengendor dan jatuh disekeliling pinggangku.
Apa?
Aku terpesona?
Padanya?
Jelas tidak!
Aku sedang memikirkan keselamatanku saat ini.
Ia berhenti tertawa. Lalu melangkah mundur dan kembali duduk disofa. Bekas jejak geli masih kentara diwajahnya yang .... baru kusadari sangatlah tampan. Ia memiliki garis rahang tegas dengan bibir merah dan hidung yang luar biasa mancung. namun dari keseluruhan itu, matanya adalah hal pertama yang akan kau lihat dan mampu membuatmu terdiam beberapa saat.
Matanya begitu jernih... berwarna biru terang dan juga dingin... aku bisa membaca bahwa hanya dengan tatapan tajamnya bisa membekukan secangkir teh yang mengepul.
"Kau lucu juga ternyata"
Ia bicara?
Ia bisa bicara!!
Seketika tanpa bisa kusadari aku menghela nafas lega. Entah kenapa sesaat tadi, walau hanya selintas, pikiran primitifku mengatakan ia adalah makhluk dunia lain. Ia bisa jadi hantu yang bisa menembus dinding. Atau bisa jadi penyihir yang mampu memindahkan tubuhnya dari suatu tempat ketempat lain. Atau bisa jadi dia alien yang terdampar...
"Katakan, siapa kau? Kenapa kau bisa berada dikamarku"
Laki-laki itu masih diam. Tak terlihat sedikit pun ia berniat untuk menjawab pertanyaanku. Membuatku semakin gelisah antara ingin melemparinya dengan lampu meja atau berlari kabur saja keluar...
Aku melirik jam diatas dinding. Kesempatanku untuk bisa berangkat tepat waktu tinggal sedikit lagi. Aku tidak bisa terlambat jika tidak ingin hidupku semakin berat dikampus. Aku harus bisa mengeluarkan laki-laki ini sebelum apapun hal buruk yang ada dipikirannya bisa terjadi. Saat aku mengalihkan mataku dari jam kearahnya, seketika aku kembali tersentak.
Ia menghilang!
Laki-laki itu menghilang. Tidak ada orang yang menduduki sofa yang semenit lalu diduduki laki-laki bermata biru itu. Tiba-tiba seluruh tubuhku menegang. Aku yakin benar dia masih disana sebelum mataku beralih ke arah jam.
Dengan gemetar aku beranjak turun dari ranjang. Mengambil sebuah penggaris di bawah meja, dan menjadikannya sebagai tameng keselamatanku. Aku bergerak menuju sofa. Memastikan memang tidak ada apapun disana. Sudut-sudut jendela terkunci rapat. Tidak ada apapun.
Pandanganku meneliti lurus kearah luar jendela. Meremas keras ujung penggaris ditanganku. Barang kali ia melompat disana dan berlari keluar. Mataku fokus pada satu titik saat sesuatu yang lembut dan panas tiba-tiba saja mendarat dipipiku. Membuatku tersentak. Tanganku terangkat untuk merabanya. Aku bisa merasakan kehangatan disana.
Aku merasakan sebuah sentuhan.
Aku merasakannya. Sesuatu yang lembut. Sedikit basah. Seperti sebuah... kecupan. Aku memang tak tau pasti rasanya sebuah kecupan tapi aku bisa dengan jelas merasakan tekstur bibir disana.
Apa?!! Tidak... tidak...
Aku menjadi panik. Mataku berkeliling ruangan. Tubuhku berputar memastikan apa atau... siapa yang sedang mencoba mempermainkanku. Namun hanya kekosongan disini. Tidak ada seorang pun selain aku disini, berdiri dengan pipi bersemu merah.
Aku pasti masih bermimpi.
***
Kugelung asal rambut panjangku dan berlari cepat melewati semua orang. Aku tidak boleh terlambat. Tidak disaat aku bukan salah satu murid yang ingin diperhatikan. Menjadi pusat perhatian adalah daftar ter-paling- bawah rencanaku.
Saat sampai didepan kelas, aku baru membuang nafas dan menghirup sebanyak-banyaknya.. kelas dimulai jam 08.00. Aku mengamati jam kecil ditanganku menunjukkan 07.30. Aku menarik nafas lega karena hampir saja aku terlambat.
Saat memasuki kelas tidak ada seorang pun disana. Aku mengambil kursi paling depan didekat meja Dosen dan mulai mengeluarkan beberapa buku.
Menjadi anak paling 'aneh' - itu yang mereka katakan- diangkatanku bukanlah sesuatu yang membanggakan. Padahal ini baru minggu kedua semester dimulai tapi sepertinya semua orang sudah memiliki kelompok mereka masing masing. Hanya aku yang tidak memiliki teman bicara. Dan lebih banyak menunduk disaat orang lain disekitarku saling membagi tawa.
Kelemahanku dengan menjadi sulit untuk bersosialisasi dengan orang banyak membuat aku menjadi tersisihkan. Namun tidak hanya cukup dengan tersisihkan saja, karena itu pula lah yang membuatku menjadi bulan-bulanan orang lain.
Aku sudah mencoba untuk membuka diri, mencoba berinteraksi dan mengesampingkan perasaan risihku saat bicara dengan orang lain. Tetapi sayangnya, mereka semua lebih senang mengategorikanku sebagian bahan olok-olok mereka ketimbang memilahku menjadi salah satu teman.
Itu jugalah yang menjadikanku untuk masuk lebih pagi. Itu lebih baik daripada saat aku masuk harus diperhatikan oleh orang lain yang sudah berada dikelas sebelum aku.
Beberapa siswa masuk saat pelajaran akan dimulai. Bertambah banyak saat sudah berdiri seorang Dosen - ibu clara- didepan kelas dengan penggaris panjang dan spidol hitamnya.
Hanya ada beberapa orang yang duduk didepan. Hampir semua dari mereka lebih berebut untuk duduk dibelakang agar bisa dengan mudah mengabaikan pelajaran.
Kursi disebelahku kosong, seperti biasa. Bagiku, kosongnya kursi disebelahku membuatku terselamatkan dari harus bersikap ramah dan saling menyapa. Karena aku tak terlalu pandai melakukannya.
Pelajaran dimulai seperti biasa. Sampai fokusku terganggu dengan sebuah lemparan kertas yang mengenai kepala belakangku. Aku tidak menoleh untuk mencari tau itu ulah siapa karena hanya dengan mendengar suara cekikikan mereka cukup menjelaskan siapa pelakunya.
Aku tetap berusaha fokus mencatat dan mengabaikan sampai sesuatu berujung lancip kembali mendarat dikepalaku. Sebuah pulpen hitam kemudian jatuh dan menggekinding turun dibawah kakiku.
Mereka tidak akan berhenti.
Aku tetap berusaha diam dan melirik jam ditangan. Ingin sekali rasanya bisa mempercepat waktu dan menyelesaikan kelas ini. Mereka kembali melempariku dengan benda-benda dari balik punggung Dosen yang tengah mencatat.
Sampai suara teriakan menghentikan aktifitas semua orang dikelas ini. Ibu Clara sontak berbalik, diiringi dengan anak-anak yang lain yang juga menoleh kesumber teriakan.
Disana, dibangku paling belakang seorang wanita cantik berambut pirang mengusap-usap kepalanya dan memperlihatkan wajah kesakitannya.
"Ada apa Anggela?" Ibu Clara menurunkan kacamatanya sampai setengah hidung dan menatap dari ujung matanya.
"Alice melempariku dengan kotak pensil ini" katanya dengan menunjuk kotak pensil berwarna pink yang sudah berhamburan dilantai lalu menunjukku dengan bibirnya.
Apa?
Aku?
Kapan aku melakukannya?
Ibu clara tampak memperhatikanku lalu mengamati kotak pensil yang isinya sudah berceceran dilantai.
"Siapa pemilik kotak pensil itu?" Ibu clara menyuarakan suara kerasnya. Membuat kelas menjadi hening. Tidak ada yang berani bersuara dan menjawab. Melihat tidak ada satupun yang mengankat suara membuat nya berjalan melewati sela kursi dan berjongkok memungut kotak itu. Sesaat ia mengamati kotak itu lalu memandang Anggela dengan dahi berkerut.
"Baca tulisan ini!" perintahnya menunjuk sebuah tulisan dibagian belakang kotak. Anggela terlihat gugup dan berhenti mengusap kepalanya. Ia berkedip dan memilih diam dan tidak menjawab. Pilihan yang salah karena setelahnya suara menggelegar Ibu clara memecah keheningan dengan meledakkan kemarahannya.
"Kau pikir bagaimana caranya Alice melemparmu dengan kotak pensil milikmu sendiri?"
Anggela tersentak. Ia memandang gugup tangannya dan mencoba membela diri.
"Tadi memang dia... aku mencoba melemparkan itu padanya.. tapi... tapi itu tiba-tiba saja berbalik dan terlempar mengenaiku... aku.. aku"
"Kau mencoba melempar ini pada Alice?" Ibu Clara menaikkan sebelah alisnya tidak percaya.
"I-iya.. tadi... aku .. "
"Diam!!!" Ibu clara kembali berteriak. "Jika kau sedang berusaha mengacaukan kelasku kau bisa keluar sekarang. Aku tidak bisa dibodohi dengan cerita tidak masuk akalmu. Jadi, jaga sikapmu jika memang kau masih ingin mendapatkan kursi dimata kuliahku, kau mengerti?!"
Anggela memilih untuk diam dan melotot padaku. Aku lebih memilih untuk berbalik dan menghindari tatapan intimidasinya. Sudah bisa kupastikan ia akan mencariku selepas kelas ini bubar. Tanganku bergerak tidak nyaman.
Apa tadi yang Anggela katakan? Aku tau ia yang melempariku sedari tadi. Tetapi yang mengejutkanku ia mengatakan lemparannya justru berbalik kearahnya. Apakah hanya aku yang menganggapnya aneh? Atau memang ia yang sedang berhalusinasi.
Entah kenapa aku merasakan hawa berbeda disekitarku. Disekelilingku masih sama sunyinya karena Ibu Clara kembali mencatat di papan tulis dan semua orang kembali fokus memperhatikan. Namun hawa dingin ini semakin menyengat kurasakan sampai sebuah sentuhan ringan mendarat dipipiku. Lembut... hangat..
Tubuhku membeku ditempat. Kedua tanganku mencengkram keras tepian meja. Bahkan tanpa bisa kusadari dadaku berdegul cepat.
Lagi... aku bisa merasakannya lagi. Sentuhan hangat itu. Sentuhan yang mirip sebuah kecupan ringan. Mendarat tepat dipipiku persis seperti yang kurasakan tadi pagi.
Aku tak berani menoleh. Karena aku tau yang kudapati hanya angin. Namun sudut mataku menangkap sesuatu diujung sana. Memaksaku memalingkan wajah dan kembaki terkesiap.
Diluar kelas, didepan pintu ... seseorang sedang bersandar dengan santai. Kedua tangannya masuk kedalam saku celana dan tengah tersenyum kearahku.
Oh tidak...!!
Itu .... dia....
Laki-laki bermata biru....
***

No comments:

Post a Comment